Minggu, 17 Mei 2009

Pemerataan Pendidikan


Tanggal : 02 Mar 2009
Sumber : Kompas

Prakarsa Rakyat,


Senin, 2 Maret 2009 | 01:41 WIB

Oleh Agus Suwignyo

Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.

Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?

Miskonsepsi

Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.

Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.

Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).

Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.

Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.

Pemerintah daerah

Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.

UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.

Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.

Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.

Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.

Menyesatkan publik

Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.

Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.

Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM

Soal Salah Cetak, UN Susulan Ditolak


By admin
Friday, May 01, 2009 08:12:00



Soal Salah Cetak, UN Susulan Ditolak

Jumat, 1 Mei 2009 | 08:12 WIB

KUDUS, KOMPAS.com - Sejumlah kepala sekolah (Kasek) di Kabupaten Kudus, sepakat menolak ujian susulan, menyusul temuan kesalahan cetak naskah soal ujian nasional (UN)untuk mata pelajaran bahasa Inggris pada Selasa (28/4).

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP, Oky Sudarto, di Kudus, Jumat mengatakan, secara psikologis ujian susulan justru akan membebani pelajar. Untuk itu, muncul kesepakatan kepala sekolah menolak wacana ujian susulan, ujarnya.

Berdasarkan pertemuan antara kepala sekolah dan sub rayon, katanya, para kasek menanggapi persoalan naskah soal UN tersebut murni kesalahan percetakan bukan kesalahan siswa, sehingga tidak dapat dibebankan kepada siswa dengan cara melaksanakan ujian susulan.

Dari sisi psikologis memang kurang menguntungkan para siswa. Kami mengusulkan sebanyak 11 soal tersebut dibetulkan, ujar Oky yang juga Kepala SMP 1 Kudus. Selain itu, sejumlah kepala sekolah juga mempertimbangkan beban yang akan diemban pada ujian susulan nanti akan memengaruhi nilai yang akan dicapainya.

Sebelumnya, Koordinator Tim Pemantau Independen (TPI) SMP/MTs/SMK Kudus Hendy Hendro HS mengungkapkan, ujian ulangan hanya dapat dilaksanakan ketika terjadi kebocoran, sehingga jalan satu-satunya mengatasi persoalan salah cetak naskah soal tersebut dengan menganulir sebelas soal yang salah itu untuk dibetulkan.

Akmal Aslim, guru dari MTs Negeri 1 Kudus, menambahkan, pihaknya menyayangkan kinerja Pura Group, karena kesalahan cetak naskah soal UN tersebut dapat merugikan siswa. Kerja keras siswa mempersiapkan UN, masih harus dibebani dengan permasalahan kesalahan naskah soal tersebut.

Ia berharap Dinas Pendidikan Jateng dalam mengambil kebijakan terkait kasus kesalahan cetak naskah soal UN itu, tidak merugikan para siswa.

ABI
Sumber : Ant

Sumber: Kompas.Com
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/05/01/
08123425/Soal.Salah.Cetak..UN.Susulan.Ditolak

Ini Dia, Sebagian Daftar Pelanggaran UN Itu


By admin
Monday, May 04, 2009 18:03:00



Evaluasi Ujian Nasional
Ini Dia, Sebagian Daftar Pelanggaran UN Itu

Senin, 4 Mei 2009 | 18:03 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Selain kualitas cetak naskah soal UN, persoalan yang paling banyak disorot oleh media massa adalah kebocoran soal dan kecurangan-kecurangan. Hal tersebut menjadi evaluasi sementara hasil pemantauan dan laporan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara UN siang tadi (4/5) di Kantor Depdiknas, Jakarta.

Menurut Prof.Dr. Mungin Eddy Wibowo, Ketua BSNP, hasil pemantauan dan laporan yang masuk ke BSNP menggambarkan, bahwa masih banyak pelanggaran di UN terjadi akibat menyalahi Prosedur Operasional Standar (POS) UN yang sudah ditetapkan. Tetapi ini masih bersifat sementara karena semua laporan belum semuanya masuk dari penyelenggara UN di tingkat provinsi serta para pemantau UN, kami masih akan mengkajinya lebih jauh temuan di lapangan, kata Mungin.

Beberapa pelanggaran tersebut antara lain:

- Guru mata pelajaran masih hadir di sekolah

- Masih dijumpai siswa yang membawa ponsel ke dalam ruang UN

- Pengawas ruang UN berkeliling ruangan UN dan pintu ruang ditutup

- Masih adanya pejabat dan wartawan yang masuk ke ruangan saat UN berlangsung meskipun di pintu ruang bertuliskan Dilarang Masuk

- Masih ada pengawas ruang UN yang tidak melakukan pengeliman amplop Lembar Jawaban UN (LJUN)

Kasus Pembocor Soal di Bengkulu Selatan

Dalam evaluasi tersebut Mungin juga membenarkan adanya upaya pembocoran soal UN SMA oleh para oknum kepala sekolah dan guru di Kabupaten Bengkulu Selatan. Peristiwa yang memalukan dan menjadi sorotan media massa tersebut kini sedang dalam penanganan Polres Bengkulu Selatan.

Berdasarkan laporan evaluasi sementara itu disebutkan, keterangan Polres dan barang bukti menyebutkan bahwa Kepala SMAN I Bengkulu Selatan telah mencuri sampul soal cadangan dan menyimpannya dalam kardus khusus. Setelah dilakukan cross check oleh Polres Bengkulu Selatan, ternyata rombongan oknum kepala sekolah sedang melakukan pembahasan jawaban soal-soal UN di Masjid SMAN I Bengkulu Selatan.

Akibat kejadian itu, sebanyak 25 orang sudah diamankan di Mapolres Bengkulu Selatan berikut barang bukti berupa soal UN. Rombongan pembocor soal tersebut terdiri dari 10 Kepala Sekolah SMA Negeri, 4 Kepala SMA Swasta, 1 Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN), seorang pejabat eselon III Dinas Pendidikan Pemudan dan Olahraga (Disdikpora), serta 9 orang guru.

Sejauh ini tidak ditemukan kebocoran soal karena modus pencurian itu sudah lebih dulu ketahuan oleh polisi dan soal UN belum sempat jatuh ke tangan siswa, terang Mungin.

Mungin menyebutkan, ada upaya tim sukses yang berusaha menginginkan target-target tertentu terkait standar kelulusan. Kasus ini masih dalam penyelidikan polisi dan bila benar terbukti kami siap memberikan sanksinya, tambah Mungin.

Ihwal sanksi itu, Mungin mengatakan bahwa para kepala sekolah, guru atau pejabat terkait itu akan dibebastugaskan dan tidak diikutsertakan dalam UN/UASBN selanjutnya. Sementara penyelenggara yang terbukti melanggar juga tidak dibolehkan lagi menyelenggarakan UN, tegas Mungin.

LTF

Sumber: Kompas.Com
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/05/04/1803269
/Ini.Dia..Sebagian.Daftar.Pelanggaran.UN.Itu.

Media Multimedia Memudahkan Siswa


By admin
Monday, March 03, 2008 17:39:00



Pendidikan
Media Multimedia Memudahkan Siswa

Senin, 3 Maret 2008 | 17:39 WIB

Semarang, Kompas - Penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah akan memudahkan guru untuk menerangkan materi pelajaran. Berbagai obyek dapat divisualisasikan sehingga siswa mudah memahami materi pelajaran.

Hal itu terungkap dalam seminar nasional Meraih Sukses Pembelajaran dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif, Sabtu (1/3) di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Romi Satrio Wahono mengatakan, penyampaian materi dengan media pembelajaran multimedia memiliki sejumlah keunggulan.

Penyampaian materi dalam bentuk visual dan suara membuat pelajaran lebih menarik. Siswa cepat paham sehingga pelajaran akan berlangsung lebih efektif dan efisien, kata salah satu pembicara di seminar tersebut.

Roni mencontohkan, dengan bantuan perangkat multimedia, siswa dapat diajak untuk membayangkan lapisan matahari sekaligus lapisan- lapisan itu dalam visualisasi di layar komputer.

Meskipun demikian, penerapan media pembelajaran multimedia di Indonesia belum populer. Menurut Roni, ada sejumlah kendala dalam penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah.

Kendala utama terletak pada kurangnya infrastruktur. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum dilengkapi dengan perangkat komputer.

Kendala lain, kesiapan guru untuk beralih ke multimedia. Tidak semua guru mampu memindahkan materi pelajaran ke dalam program komputer. Romi mengusulkan agar pengelola sekolah membentuk semacam unit multimedia yang bertugas membuat program bagi para guru.

Pekerjaan guru tidak sedikit. Sangat dipahami kalau dia tidak punya waktu untuk belajar membuat program, katanya.

Menurut Joko Triyono, guru seni budaya dari SMAN I Prembun, Kebumen, para siswa lebih berminat untuk belajar gamelan setelah ia memakai perangkat multimedia di kelasnya. Ia membuat program Apresiasi Gamelan yang berisi materi pelajaran gamelan mulai dari teori hingga praktik.

Siswa sanggup memainkan berbagai alat musik yang ada di layar komputer, ujar Joko. Dia adalah peraih medali perak dalam lomba pembuatan media pembelajaran tahun 2006, dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk program pelajaran bermain gamelan yang dibuatnya itu. (A09)

Sumber: Kompas.Com
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/03/17392324/
media.multimedia.memudahkan.siswa

Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan


By admin
Thursday, March 05, 2009 06:15:00



Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan

Kamis, 05 Maret 2009 06:15 WIB

PEMERINTAH yang tidak ragu-ragu dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor majunya pendidikan di Jepang. Pembangunan sekolah-sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi sampai ke pelosok kota kecil di Jepang salah satu wujud keseriusan tersebut.

Hal tersebut diakui oleh Prof Toru Kikkawa dari Universitas Osaka Jepang dalam seminar pendidikan berjudul 'Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities' yang diadakan oleh Universitas Paramadima di Jakarta, Rabu (4/3).

Dalam presentasinya, Prof. Toru Kikkawa, menyajikan hal-hal apa saja yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Jepang selama ini. Beliau juga memaparkan bagaimana latar belakang pendidikan orang tua sangat mempengaruhi peningkatan level pendidikan masyarakat Jepang pada generasi berikutnya.

Jika di negara berkembang, faktor gender, etnis dan ekonomi sangat mempengaruhi level pendidikan masyarakatnya, latar belakang pendidikan orang tua tidak terlalu berpengaruh.

Berbeda dengan Jepang, justru faktor latar belakang pendidikan orang tua dan status pekerjaan yang sangat berpengaruh pada perkembangan level pendidikan masyarakatnya, tutur Toru.

Hal ini juga disambut dengan pernyataan dari Dr. Anies Baswedan yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berupa produk komersil. Masyarakat masih berpikir sekolah itu mahal dan hanya orang-orang berduit saja yang bisa sekolah.

Anggaran pendidikan yang dipatok 20% pada APBN 2009 sebenarnya masih belum cukup untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, mengingat demikian luasnya wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan pendidikan level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih langka di daerah-daerah terpencil, jelas Anies.

Saat ini Jepang target program wajib belajar 9 tahun Jepang telah terpenuhi 100% dari populasi penduduk Jepang. Untuk tingkat sekolah menengah, 97% dari populasi penduduk telah mengikutinya dan untuk tingkat perguruan tinggi 50% dari populasi penduduk Jepang telah menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi.

Berangkat dari hal tersebut, Anies menambahkan bahwa Indonesia harus memiliki manajemen pengembangan pendidikan yang baik. Indonesia dapat memulai dari meningkatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia, mulai dari level pendidikan sekolah dasar sampai level perguruan tinggi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk meningkatkan taraf kehidupan menjadi lebih baik. (*/OL-02)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/03/03/63568/88/
14/Pemerintah_Jangan_Ragu_Bangun_Sarana_Pendidikan_

Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia

Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator
Jumat, 24 April 2009 03:24
Indeks Artikel
Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Semua Halaman
There are no translations available.

Dorongan masyarakat agar pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai mandat konstitusi, sebesar minimal 20%, membuat pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sekitar Rp. 224 trilyun untuk belanja pendidikan pada RAPBN 2009. Disatu sisi hal tersebut adalah keberhasilan kerja-kerja advokasi masyarakat sipil khususnya, Akan tetapi disisi lain muncul agenda berikutnya yang jauh lebih penting, yaitu bagaimana memperbaiki pentargetan dalam mengalokasikan anggaran sebesar itu (prioritasi anggaran), dan memperbaiki akuntabilitas sistem belanja. Dalam kerangka advokasi, PATTIRO menyelenggarakan rangkaian serial diskusi terbatas bagi jaringan masyarakat sipil dan LSM yang melakukan kerja-kerja advokasi terkait pembiayaan pendidikan di tingkat nasional.
Tujuan besar dari rangkaian kegiatan ini adalah melakukan review bersama-sama mengenai perkembangan kondisi terkini, baik terkait kebijakan pembiayaan pendidikan maupun permasalahan di lapangan, dan merumuskan bersama-sama isu strategis terkait kerja-kerja advokasi di tingkat nasional. Diskusi Terfokus pertama telah dilaksanakan pada jumat, 05 September 2008. Diskusi yang berlangsung di Cafe Bakul Koffie ini domoderatori oleh Maryati (Peneliti PATTIRO) dengan menghadirkan 4 narasumber sebagai pemantik diskusi, yakni : Abbas Ghozali (ketua tim ahli standar pembiayaan pendidikan BSNP), Utomo Dananjaya (Direktur Institute for Education Reform), Ade Irawan (Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia Corruption Watch), dan Chitra Hariyadi (Peneliti Kebijakan Publik PATTIRO). Acara yang digelar serangkaian dengan buka puasa ini dihadiri oleh jaringan masyarakat sipil dan NGO yang konsern pada advokasi pendidikan khususnya terkait pembiayaan pendidikan, antara lain : Education Network for Justice (M. Firdaus), Forum Peduli Pendidikan Nasional (Cornelis Lamonggi), ISCO Foundation (Ramida H.F Siringoringo), GAPRI (Ghofur) disamping Institute for Education Reform (IER) dan PATTIRO. Abbas Ghozali dalam Diskusi terfokus ini banyak mereview tentang kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia. Menurut Abbas, mekanisme dan prosedur pendanaan pendidikan yang ada selama ini adalah rumit dan kurang efisien dan efektif. Menurutnya, dana pendidikan yang diperuntukkan bagi sasaran pendidikan berasal dari berbagai sumber, yaitu dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dimana Penyaluran dana dari masing-masing tingkat dilakukan melalui banyak proyek. Sementara, antar tingkat pemerintahan dan antar proyek memiliki kebijakan sendiri-sendiri dalam hal sasaran yang ditargetkan dan komponen yang dibiayai sehingga terlihat kurangnya koordinasi. Utomo Dananjaya (IER) mengungkapkan bahwa konstitusi tertinggi negara yakni UUD 1945 merupakan kesepakata umum yang dasar dan tinggi sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk aturan tentang pendidikan dimana anggaran 20% sudah diatur di dalamnya. Artinya, UUD sebagai payung hukum, sumber hukum dan dasar hukum tertinggi, sehingga melanggarnya adalah bentuk kejahatan. Mengutif Abbas, ada sebelas komponen biaya yang bisa jadi pungutan di sekolah, yakni mulai dari Buku dan ATS, Pakaian dan perlengkapan sekolah, Akomodasi, Transportasi, Konsumsi, kesehatan, Karyawisata, Uang saku, kursus, Iuran sekolah, dan Foregone earning. Utomo juga menyampaikan fakta di Negara lain seperti Malaysia yang berhasil menerapkan pendidikan gratis semenjak merdeka.
Prioritas di bidang pendidikan menurut utomo adalah Melahirkan generasi guru baru, membebaskan pungutan, meningkatkan gaji guru, dan penguatan infrastruktur pendidikan. Sehingga, kenaikan anggaran pendidikan di harapkan mampu menutup beban orang tua untuk sekolah dan bukan untuk biaya mengurus anak. Menurut Ade Irawan (ICW) dari tahun ke tahun anggaran terus naik, sehingga ketika SBY menyatakan akan memenuhi anggaran 20% atau sekitar Rp. 224 Triliun, jumlah tersebut tidak sedikit. Harapannya jangan sampai terjadi euphoria, seolah2 pendikan tiba-tiba akan menjadi baik. Menurut ade, kita harus melihatnya secara kritis : Bagaimana Porsi untuk biaya pendidikan sebenarnya? Bagaimana proses pengalokasiannya? Pembenahannya bagaimana? dan Bagaimana harmonisasi antara anggaran Perguruan Tinggi dan Pendidikan dasar?. Berkaitan dengan porsi, menurut ade, ada ketidaksesuaian antara rumusan yang dibuat oleh komisi 10 dengan Depdiknas. Dimana gaji pendidik termasuk dalam anggaran 20 persen, sehingga anggaran rutin akan bertambah dan anggaran pelayanan akan berkurang komposisinya, sehingga terjadilah perebutan antara keduanya. Bahkan anggaran kedinasan pun dimasukkan dalam anggaran pendidikan. artinya bahwa 224 Triliun tidak sesuai lagi dengan hal yang di definisikan oleh Komisi 10 dan Depdiknas. Ade menambahkan bahwa perlu proses yang transparan dalam pengalokasiannya. Chitra Hariyadi (Peneliti PATTIRO) mengungkapkan tentang hasil Penelitian PATTIRO menggunakan metoda PETS (Public Expenditure Tracking Survey), di kota Serang dan Gresik, dari penelitian sekitar 137 sekolah dari 7 skema yang diteliti yakni DAK, Block Grant, BOS, BOS Buku, BOS Pendamping, Rehab APBD serta dana Dekon. Memperlihatkan bahwa skema2 pusat lebih efektif, yakni dana BOS serta DAK. Sementara dana-dana yang berasal dari daerah mengalami banyak kebocoran. Beberapa hal yang ditemui di lapangan dari penelusuran tersebut ditemukan beberapa persoalan terkait pola belanja, dimana mandat yang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan utama, terjadi keterlambatan pencairan, potongan yang tidak wajar, penyimpangan cara penyaluran dibanding aturan, belanja yang tidak sesuai dengan peruntukan, serta terjadi pengurangan hasil/kualitas yang dibanding dengan harga dan rencana semula. Rekomendasi berkisar di pemerintah pusat agar menyederhanakan jenis skema anggaran ke sekolah yang bertumpu pada rutin serta operasional dan memastikan keberlanjutannya melalui aturan yang kuat. Perbaikan mekanisme dan kepastian waktu penyaluran serta Pembuatan aturan dari pusat untuk mekanisme laporan standar. Sementara untuk pemerintah daerah adalah mendorong partisipasi multistakeholder, legislatf, komite sekolah untuk mengawasi, juga mendorong pemberdayaan manajemen keuangan sekolah dan pelaporan yang baik. Serta yang utama adalah membuat aturan yang memungkinkan dana didesakkan sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai tujuan utama alokasi dana tersebut. Diskusi menghangat pada efektifitas belanja pendidikan serta PP 48/2008 yang masih membolehkan sekolah memungut dana siswa, juga mengenai pembagian kewenangan pusat, propinsi dan daerah yang sering tumpang tindih dalam hal pembiayaan pendidikan (Writen by Dini Mentari, Maryati).
LAST_UPDATED2

Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)


By admin
Monday, September 08, 2008 13:53:00



Senin, 08 September 2008 13:53 WIB

Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)

ISU pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya kebijakan anggaran pendidikan 20% mulai tahun anggaran 2009/2010, baik yang harus disediakan dalam kerangka APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan. Perdebatan yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu (quality assurance). Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.

Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per-anak per-tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah. Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orang tua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Dalam konteks ini pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.

Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kementerian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah. Karena itu kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald, et al, dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat strategi pembiayaan pendidikan di sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.

Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per-orang per-tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dengan capaian akademis siswa.

Kesimpulannya cukup mengagetkan, There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance. (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989)

Pengalaman Sukma Bangsa

Ketika memulai sekolah di tahun ajaran 2006, optimisme para pengelola Sekolah Sukma Bangsa (SSB) sebenarnya belumlah tinggi. Input sekolah ini adalah anak-anak korban tsunami, korban konflik, yatim piatu, dan fakir miskin, bahkan dengan kemampuan akademis di bawah rata-rata anak sekolah di luar Aceh. Tetapi dengan visi ingin menciptakan lingkungan belajar yang positif dan kondusif, seluruh manajemen sekolah mencoba menerapkan beberapa strategi dasar pembiayaan sekolah yang mengacu pada penciptaan budaya sekolah yang aman dan nyaman. Beberapa strategi yang dikembangkan SSB mengacu pada visi dan misi sekolah sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi para siswa. Karena itu, sejak awal SSB memperkenalkan budaya moving-class, perluasan makna guru, dan penciptaan jejaring sehingga memungkinkan sekolah untuk memperoleh kritik sekaligus masukan dari para stakeholders.

Strategi pembiayaan moving class ternyata berimplikasi positif terhadap budaya belajar siswa. Guru diwajibkan berkreasi menciptakan sebanyak mungkin class project activities yang tidak hanya berbasis kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas tetapi juga di ruang terbuka seperti koridor dan halaman sekolah, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Ketika makna kelas diperluas menjadi keseluruhan sarana-prasarana yang tersedia baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, kreativitas dan usulan proses pembelajaran tidak jarang muncul dari siswa itu sendiri. Karena itu, baik guru maupun siswa memiliki hak yang sama untuk mengusulkan sebuah proses pembelajaran, pada tahap akhirnya menjadi kewajiban guru untuk membuat proposal pembiayaan aktivitas kelas tersebut.

Perluasan makna guru juga berimplikasi pada kemampuan manajemen sekolah dalam mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan komunitas sekolah (stakeholders). Di SSB, konsep guru diperluas bukan saja guru di sekolah, bahkan seorang tukang becak, paramedis puskesmas, polisi, satpam, cleaning service, hingga bupati adalah sumber daya guru yang harus diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Kepandaian guru dan murid dalam menentukan guest teacher untuk mata ajar tertentu setiap dua minggu sekali adalah sebuah proses yang mengasyikkan. Lagi-lagi kecermatan, kecerdasan, dan kreativitas guru dengan siswa dalam mengundang guru tamu harus dituangkan dalam sebuah proposal yang jelas berikut pembiayaannya. Pengalaman memaknai perluasan arti guru dengan sendirinya memacu guru itu sendiri untuk pandai membuat proposal dan membaca banyak buku sebagai rujukan proses pembelajaran. Dengan demikian, prinsip self-training seperti yang pernah dijabarkan oleh Thomas Gordon dalam Teacher Effectiveness Training menjadi lebih mudah untuk diterapkan.

Adapun strategi ketiga, yaitu menciptakan jejaring dengan seluruh komunitas sekolah adalah dalam rangka menciptakan kemitraan antara satu sekolah dan yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), SSB menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan dari strategi ini adalah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.

Sejauh ini beberapa bentuk kegiatan kerja sama luar sekolah yang telah dilakukan SSB meliputi kegiatan tutoring, mentoring, magang (internship), kunjungan lapangan, kemah siswa, serta pengadaan bahan ajar dan suplai pendidikan lainnya yang difasilitasi melalui koperasi sekolah. Perjalanan masih panjang bagi SSB. Tetapi pengalaman membuat perencanaan pembiayaan pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen sekolah paling tidak telah membuka mata SSB untuk berkembang menjadi A school thats learn.

Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Mjg4NTU=